Nawir (Penyuluh Kehutanan Kab. Sinjai Sul-Sel)
Ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Sinjai
merupakan hasil rehabilitasi pantai yang terbangun dan berkembang dari
partisipasi masyarakat secara swadaya. Umumnya tanaman mangrove tumbuh dengan
baik dan subur membuat habitat ekosistem hutan mangrove yang unik. Sejarah pengembangan hutan mangrove sinjai
dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Tahun 1930 - an
Mangrove yang ada di Kabupaten Sinjai adalah
mangrove yang tumbuh alami seperti Avicenia
sp., Nipa fructicans, dan Rhyzophora sp. dengan jumlah yang sangat
sedikit.
Upaya penanaman swadaya masyarakat dimulai
pada era ini. Nurdin (umur 83 Tahun)
salah seorang tokoh masyarakat lingkungan pangasa yang masih hidup mengutarakan
bahwa bakko (bakau) awalnya di tanam di belakang rumah penduduk untuk pelindung
gempuran ombak dan angin kencang. Benih
bakau (Propagul) diperoleh dari laut lepas ketika mereka melaut, kemudian
dibawa untuk ditanam di sekitar rumah masing-masing.
Melihat manfaat bakau sebagai perlindungan
pemukiman masyarakat Pangasa, lingkungan lain seperti Mangarabombang dan Batu
Lappa ikut melaksanakan penanaman bakau.
Penanaman bakau pada era ini masih terbatas ini disebabkan karena
kesulitan mendapatkan benih bakau. Di
balik keterbatasan itu, mereka berhasil secara swadaya menciptakan ekosistem
mangrove yang dapat dirasakan manfaatnya.
Tahun 1940 - an
Hutan Mangrove yang di tanam masyarakat dan
yang tumbuh alami mengalami kerusakan sehingga menurunkan fungsinya sebagai
penyangga kehidupan kawasan pesisir. Kerusakan terjadi karena abrasi pantai,
konversi hutan mangrove menjadi areal tambak dan dampak pendudukan penjajahan
pada waktu itu, keadaan tersebut berlanjut hingga tahun 1980-an.
Berbagai hambatan yang dihadapi oleh
masyarakat Pangasa, Mangarabombang dan Lappa, tidak menurunkan semangat mereka
untuk menanam bakau. Penanaman dilakukan
di belakang rumah, pinggir empang, dan bibir pantai.
Tahun 1980 - an
Selama kurung waktu 40 tahun tingkat
kerusakan hutan mangrove terus meningkat utamanya didusun tongke-tongke
(Sekarang menjadi Desa) dan Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.
Hampir setiap pasang air laut di Dusun
Tongke-tongke terjadi pengikisan pantai, rusaknya areal tambak dan jika terjadi
angin kencang rumah dan pemukiman masyarakat pesisir rusak dan hancur.
Akibat dari kerusakan tersebut berdampak
langsung pada masyarakat. Masyarakat
kesulitan mendapatkan nener, benur dan kepiting, pengeluaran biaya untuk
memperbaiki rumah dan pemukiman semakin banyak sementara pengahsilan yang
didapat sebagai nelayan semakin kurang.
Karena kondisi yang demikian dan melihat
kegiatan penanaman bakau di Pangasa, Mangarabombang dan Lappa mengundang
kepedulian warga masyarakat Tongke-tongke untuk menyelamatkan lingkungannya.
Mereka sadar bahwa kondisi tersebut terjadi karena rusaknya pesisir pantai.
Tahun 1982, masyarakat Tongke-tongke kampung Cempae dan Babana mulai menanam
bakau.
Tahun 1984, masyarakat Tongke-tongke
bersama-sama menanam bakau dan membangun tanggul pemecah/penahan ombak dengan
batu karang namun tanggul tersebut tidak bertahan lama untuk melindungi
pemukiman yang ada.
Tahun 1985, kembali warga masyarakat
Tongke-tongke bermusyawarah yang dipelopori oleh beberapa tokoh masyarakat
setempat bersepakat melaksanakan penyelamatan lingkungan melalui kegiatan
penanaman Bakau (Mangrove) secara swadaya dengan membentuk Kelompok Tani Aku
Cinta Indonesia (ACI) yang awal pembentukannya diketuai oleh M.Tayyeb.
Kegiatan penanaman bakau di Tongke-tongke
pada awalnya seluas 15 Ha. Sumber benih bakau diperoleh dari lingkungan Pangasa
dengan kerapatan tanaman 0,5 x 0,5 m. penanaman bakau dilaksanakan bersama-sama
(laki-laki - perempuan) dan pemeliharaan bakau di bagi kedalam berbagai luasan
(Blok) yang dipelihara oleh satu kepala keluarga. Melihat keberhasilan
penanaman bakau di Dusun Tongke-tongke tahun 1986 penanaman juga dilaksanakan
di dusun, desa /kelurahan yang mempunyai wilayah pesisir pantai.
Tahun 1988 kelompok tani ACI dibakukan dengan
nama Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam – Aku Cinta Indonesia (KPSA - ACI) melalui
program pembinaan kelembagaan dan penyuluhan
instansi terkait lingkup Pemerintah Kabupaten Sinjai.
Tahun 1990 – an
Keberhasilan masyarakat Sinjai dalam
pembangunan hutan Mangrove secara swadaya membawa perubahan yang sangat
dirasakan manfaatnya antara lain :
- Pemukiman telah bebas dari genangan air pasang dan gempuran ombak yang
besar, hal ini dibuktikan dengan kejadian badai Tsunami di Flores beberapa
daerah pesisir yang tidak mempunyai mangrove mengalami kerusakan.
- Tidak terjadi lagi pengikisan pantai sehingga ekosistem mangrove dapat
terjamin.
- Tersedianya nener, benur alam dan kepiting yang dapat dengan mudah
ditangkap oleh masyarakat.
- Kurangnya rembesan air laut ke sumur masyarakat
- Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
- Memberikan kesejukan dan keindahan pantai.
Melihat keberhasilan swadaya masyarakat
Pangasa, Tongke-tongke, Mangarabombang, dan Lappa, penanaman dan pengembangan
bakau juga dilaksanakan di Lingkungan Desa Panaikang, Sanjai, Pasimarannu, dan
Bua. Pada Tahun 1995, M.
Tayyeb bersama masyarakat pesisir pantai Sinjai mendapatkan penghargaan
Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia melalui KPSA-ACI sebagai
Tokoh Perintis Lingkungan Hidup.
Disamping penghargaan Kalpataru bantuan
pembangunan lainnya berupa pengaspalan jalan, pondok pertemuan, gedung
pelatihan bakau dan pembinaan kelembagaan kelompok yang diberikan oleh
Departemen Kehutanan RI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten
Sanjai.
Tahun 2000 - Sekarang
Hutan mangrove Kabupaten Sinjai menyebar pada
tiga Kecamatan. Pengembangan bakau terus dilaksanakan oleh masyarakat baik
secara swadaya maupun bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sinjai dan Instansi/ institusi
terkait dari ditigkat propinsi dan pusat .
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sinjai
terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove tetap mengacu pada
Undang-Undang 41 tentang Kehutanan. Salah satu kebijakan tersebut adalah
pemerintah tidak mengizinkan masyarakat untuk menebang kayu bakau yang telah
berhasil menjadi ekosistem.
Pengelolaan dan pemanfaatan yang diterapkan
adalah melalui sistem pembinaan KPSA, kelompok Tani bakau, bersama LSM
Pemerhati lingkungan. Upaya yang dilakukan adalah mempertahankan dan
meningkatkan fungsi ekologisnya serta menggali potensi ekonomi yang dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Karena jerih payah masyarakat dalam
pengembangan bakau (Mangrove) secara swadaya yang menciptakan suatu ekosistem
mangrove yang berpotensi dan menjadi obyek studi serta obyek penelitian.
Berbagai peneliti, rombongan studi dan lembaga pemerhati lingkungan berkunjung,
mempelajari, mengkaji dan meneliti ekosistem mangrove Kabupaten Sinjai, baik
dari dalam maupun luar negeri.
Pada kondisi demikian masyarakat Sinjai,
khususnya masyarakat pesisir pantai semakin sadar dan memahami bagaimana
pentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove dikawasan pantai. Wujud dari
kesadaran masyarakat adalah dengan tetap menanam dan mengembangkan bakau serta
memberikan informasi kepada setiap pengunjung yang datang.
Tahun 2003 luas hutan mangrove Sinjai mencapai
786 Ha, tahun 2005 menjadi 843 Ha, dan tahun 2011 mencapai 1.157 Ha. Peningkatan
tersebut dicapai melalui kegiatan penanam oleh masyarakat secara swadaya, rehabilatasi
hutan mangrove melalui kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN),
pengembangan percontohan pemberdayaan masyarakat pesisir, dan kegiatan pembangunan
kebun bibit rakyat (KBR) serta penanaman dari beberapa kelompok pemerhati
lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar