Selasa, 16 April 2013

Sejarah Pengembangan Hutan Mangrove Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan

Nawir (Penyuluh Kehutanan Kab. Sinjai Sul-Sel)

Ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Sinjai merupakan hasil rehabilitasi pantai yang terbangun dan berkembang dari partisipasi masyarakat secara swadaya. Umumnya tanaman mangrove tumbuh dengan baik dan subur membuat habitat ekosistem hutan mangrove yang unik.  Sejarah pengembangan hutan mangrove sinjai dijelaskan secara singkat sebagai berikut :



                                        Tahun 1930 - an

Mangrove yang ada di Kabupaten Sinjai adalah mangrove yang tumbuh alami seperti Avicenia sp., Nipa fructicans, dan  Rhyzophora sp. dengan jumlah yang sangat sedikit.
Upaya penanaman swadaya masyarakat dimulai pada era ini.  Nurdin (umur 83 Tahun) salah seorang tokoh masyarakat lingkungan pangasa yang masih hidup mengutarakan bahwa bakko (bakau) awalnya di tanam di belakang rumah penduduk untuk pelindung gempuran ombak dan angin kencang.  Benih bakau (Propagul) diperoleh dari laut lepas ketika mereka melaut, kemudian dibawa untuk ditanam di sekitar rumah masing-masing.
Melihat manfaat bakau sebagai perlindungan pemukiman masyarakat Pangasa, lingkungan lain seperti Mangarabombang dan Batu Lappa ikut melaksanakan penanaman bakau.  Penanaman bakau pada era ini masih terbatas ini disebabkan karena kesulitan mendapatkan benih bakau.  Di balik keterbatasan itu, mereka berhasil secara swadaya menciptakan ekosistem mangrove yang dapat dirasakan manfaatnya.
                                                    Tahun 1940 - an
Hutan Mangrove yang di tanam masyarakat dan yang tumbuh alami mengalami kerusakan sehingga menurunkan fungsinya sebagai penyangga kehidupan kawasan pesisir. Kerusakan terjadi karena abrasi pantai, konversi hutan mangrove menjadi areal tambak dan dampak pendudukan penjajahan pada waktu itu, keadaan tersebut berlanjut hingga tahun 1980-an.
Berbagai hambatan yang dihadapi oleh masyarakat Pangasa, Mangarabombang dan Lappa, tidak menurunkan semangat mereka untuk menanam bakau.  Penanaman dilakukan di belakang rumah, pinggir empang, dan bibir pantai.
                                                    Tahun 1980 - an
Selama kurung waktu 40 tahun tingkat kerusakan hutan mangrove terus meningkat utamanya didusun tongke-tongke (Sekarang menjadi Desa) dan Kelurahan Samataring Kecamatan Sinjai Timur.
Hampir setiap pasang air laut di Dusun Tongke-tongke terjadi pengikisan pantai, rusaknya areal tambak dan jika terjadi angin kencang rumah dan pemukiman masyarakat pesisir rusak dan hancur.
Akibat dari kerusakan tersebut berdampak langsung pada masyarakat.  Masyarakat kesulitan mendapatkan nener, benur dan kepiting, pengeluaran biaya untuk memperbaiki rumah dan pemukiman semakin banyak sementara pengahsilan yang didapat sebagai nelayan semakin kurang.
Karena kondisi yang demikian dan melihat kegiatan penanaman bakau di Pangasa, Mangarabombang dan Lappa mengundang kepedulian warga masyarakat Tongke-tongke untuk menyelamatkan lingkungannya. Mereka sadar bahwa kondisi tersebut terjadi karena rusaknya pesisir pantai. Tahun 1982, masyarakat Tongke-tongke kampung Cempae dan Babana mulai menanam bakau.
Tahun 1984, masyarakat Tongke-tongke bersama-sama menanam bakau dan membangun tanggul pemecah/penahan ombak dengan batu karang namun tanggul tersebut tidak bertahan lama untuk melindungi pemukiman yang ada.
Tahun 1985, kembali warga masyarakat Tongke-tongke bermusyawarah yang dipelopori oleh beberapa tokoh masyarakat setempat bersepakat melaksanakan penyelamatan lingkungan melalui kegiatan penanaman Bakau (Mangrove) secara swadaya dengan membentuk Kelompok Tani Aku Cinta Indonesia (ACI) yang awal pembentukannya diketuai oleh M.Tayyeb.
Kegiatan penanaman bakau di Tongke-tongke pada awalnya seluas 15 Ha. Sumber benih bakau diperoleh dari lingkungan Pangasa dengan kerapatan tanaman 0,5 x 0,5 m. penanaman bakau dilaksanakan bersama-sama (laki-laki - perempuan) dan pemeliharaan bakau di bagi kedalam berbagai luasan (Blok) yang dipelihara oleh satu kepala keluarga. Melihat keberhasilan penanaman bakau di Dusun Tongke-tongke tahun 1986 penanaman juga dilaksanakan di dusun, desa /kelurahan yang mempunyai wilayah pesisir pantai.
Tahun 1988 kelompok tani ACI dibakukan dengan nama Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam – Aku Cinta Indonesia (KPSA - ACI) melalui program pembinaan kelembagaan dan penyuluhan  instansi terkait lingkup Pemerintah Kabupaten Sinjai.
                                                      Tahun 1990 – an
Keberhasilan masyarakat Sinjai dalam pembangunan hutan Mangrove secara swadaya membawa perubahan yang sangat dirasakan manfaatnya antara lain :
 -      Pemukiman telah bebas dari genangan air pasang dan gempuran ombak yang besar, hal ini dibuktikan dengan kejadian badai Tsunami di Flores beberapa daerah pesisir yang tidak mempunyai mangrove mengalami kerusakan.
-      Tidak terjadi lagi pengikisan pantai sehingga ekosistem mangrove dapat terjamin.
-      Tersedianya nener, benur alam dan kepiting yang dapat dengan mudah ditangkap oleh masyarakat.
-       Kurangnya rembesan air laut ke sumur masyarakat
-      Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
-      Memberikan kesejukan dan keindahan pantai.
Melihat keberhasilan swadaya masyarakat Pangasa, Tongke-tongke, Mangarabombang, dan Lappa, penanaman dan pengembangan bakau juga dilaksanakan di Lingkungan Desa Panaikang, Sanjai, Pasimarannu, dan Bua.  Pada Tahun 1995,    M. Tayyeb bersama masyarakat pesisir pantai Sinjai mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia melalui KPSA-ACI sebagai Tokoh Perintis Lingkungan Hidup.
Disamping penghargaan Kalpataru bantuan pembangunan lainnya berupa pengaspalan jalan, pondok pertemuan, gedung pelatihan bakau dan pembinaan kelembagaan kelompok yang diberikan oleh Departemen Kehutanan RI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sanjai.
                                              Tahun 2000 - Sekarang
Hutan mangrove Kabupaten Sinjai menyebar pada tiga Kecamatan. Pengembangan bakau terus dilaksanakan oleh masyarakat baik secara swadaya maupun bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sinjai dan Instansi/ institusi terkait dari ditigkat propinsi dan pusat .
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sinjai terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove tetap mengacu pada Undang-Undang 41 tentang Kehutanan. Salah satu kebijakan tersebut adalah pemerintah tidak mengizinkan masyarakat untuk menebang kayu bakau yang telah berhasil menjadi ekosistem.
Pengelolaan dan pemanfaatan yang diterapkan adalah melalui sistem pembinaan KPSA, kelompok Tani bakau, bersama LSM Pemerhati lingkungan. Upaya yang dilakukan adalah mempertahankan dan meningkatkan fungsi ekologisnya serta menggali potensi ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Karena jerih payah masyarakat dalam pengembangan bakau (Mangrove) secara swadaya yang menciptakan suatu ekosistem mangrove yang berpotensi dan menjadi obyek studi serta obyek penelitian. Berbagai peneliti, rombongan studi dan lembaga pemerhati lingkungan berkunjung, mempelajari, mengkaji dan meneliti ekosistem mangrove Kabupaten Sinjai, baik dari dalam maupun luar negeri.
Pada kondisi demikian masyarakat Sinjai, khususnya masyarakat pesisir pantai semakin sadar dan memahami bagaimana pentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove dikawasan pantai. Wujud dari kesadaran masyarakat adalah dengan tetap menanam dan mengembangkan bakau serta memberikan informasi kepada setiap pengunjung yang datang.
Tahun 2003 luas hutan mangrove Sinjai mencapai 786 Ha, tahun 2005 menjadi 843 Ha, dan tahun 2011 mencapai 1.157 Ha. Peningkatan tersebut dicapai melalui kegiatan penanam oleh masyarakat secara swadaya, rehabilatasi hutan mangrove melalui kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN), pengembangan percontohan pemberdayaan masyarakat pesisir, dan kegiatan pembangunan kebun bibit rakyat (KBR) serta penanaman dari beberapa kelompok pemerhati lingkungan.