TANTANGAN TATA KELOLA DAN PENGELOLAAN
KONSERVASI HUTAN MANGROVE
Oleh
N a w i r*
Peran dan fungsi ekosistem mangrove baik fungsi ekologi seperti pusat plasma nutfah, proteksi pesisir pantai maupun fungsi ekonomi seperti ekowisata dan pemijahan ikan, udang, kepiting perlu konsep manajemen pengelolaan yang lestari.
Terbitnya beberapa peraturan perundang – undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove terkesan tumpah tindih dan berpotensi tarik menarik dalam penerapan kewenagan. Kondisi tersebut memperlambat upaya konservasi hutan mangrove yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya alam.
Luas ekosistem hutan mangrove Sulawesi Selatan mencapai 77.135 Ha terdiri dari kondisi baik 24.615 Ha, kondisi rusak 25.844 Ha, kondisi rusak berat 26.676 Ha. Kondisi rusak dan rusak berat terjadi karena banyak konversi lahan (alih fungsi) dan konflik pemanfaatan sumberdaya.
Tantangan tata kelola dan pengelolaan konservasi hutan mangrove adalah peningkatan fungsi koordinasi, koordinasi dan kolaborasi multipihak. Peningkatan fungsi multipihak tersebut diharapkan dapat: 1). Mengenali dan mensintesa permasalahan dengan baik, 2). Melakukan sinkronisasi antar berbagai kepentingan, 3). Mendorong sinergis antara komponen yang terlibat, dan 4). Mengambil peran sesuai kewenangan.
Konservasi hutan mangrove perlu diarahkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan, berbasis masyarakat dan kolaborasi multipihak. Salah satu misi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 yang mendukung konservasi hutan mangrove yaitu meningkatkan produktifitas dan daya saing produk sumber daya alam yang berkelanjutan. Penjabaran misi tersebut menitik beratkan pada terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Strategi dan arah kebijakan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 yang berhubungan dengan peningkatan fungsi hutan mangrove yaitu hilirisasi pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan. Hal ini dapat menyatupadukan multipihak dalam mengambil peran dalam upaya konservasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan.
Berdasarkan pengalaman pendampingan pengelolaan dan rehabilitasi mangrove yang telah dilaksanakan, terdapat faktor – faktor yang berpengaruh dalam konservasi hutan mangrove adalah Kesadaran masyarakat pesisir akan fungsi ekologis, tumbuh dan berkembangnya nilai ekonomi, partisipasi masyarakat, tokoh penggerak masyarakat, infrastruktur, pendampingan dan pemberdayaan, penghargaan atas partisipasi masyarakat dan pelibatan masyarakat dalam program pemerintah.
Faktor teknis yang dapat menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove diantaranya kesepakatan blok penanaman, Jarak tanam mangrove yang ditanam rapat, pengaturan jalur jalan dan penambatan perahu, penanaman dilakukan pada musim yang tepat, penerapan teknik silvikultur yang ditemukan masyarakat, pemeliharaan tanaman secara terus menerus.
Kata Kunci : Tata Kelola, Pengelolaan, Konservasi Mangrove
*Penyuluh Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan
TANTANGAN TATA
KELOLA DAN PENGELOLAAN
KONSERVASI HUTAN MANGROVE DI SULAWESI
SELATAN
N a w i r*
*Penyuluh Kehutanan Madya
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
Selatan
Peran dan fungsi ekosistem mangrove baik
fungsi ekologi seperti pusat plasma nutfah, proteksi pesisir pantai maupun
fungsi ekonomi seperti ekowisata dan pemijahan ikan, udang, kepiting perlu
konsep manajemen pengelolaan yang lestari.
Luas ekosistem hutan mangrove Sulawesi
Selatan mencapai 77.135 Ha terdiri dari kondisi baik 24.615 Ha, kondisi rusak
25.844 Ha, kondisi rusak berat 26.676 Ha. Kondisi rusak dan rusak berat terjadi
karena banyak konversi lahan (alih fungsi) dan konflik pemanfaatan sumberdaya.
Terbitnya beberapa peraturan perundang –
undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove terkesan tumpah tindih
dan berpotensi tarik menarik dalam penerapan kewenangan. Kondisi tersebut memperlambat upaya konservasi
hutan mangrove yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya alam.
Berbagai tantangan tata kelola dan pengelolaan hutan
mangrove di Provinsi
Sulawesi Selatan perlu dipahami oleh berbagai pihak dalam mengambil peran dan
tanggungjawab dalam konservasi hutan mangrove.
Permasalahan Konservasi Hutan Mangrove
Secara umum permasalahan upaya
konservasi hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan
adalah sebagai berikut :.
1)
Acaman Alih fungsi Lahan (Konversi)
2)
Ancaman kerusakan ekosistem pesisir
3)
Ancaman potensi pencemaran
4)
Penambangan pasir laut
5)
Reklamasi pesisir dan pulau pulau kecil
6)
Konflik pemanfaatan sumberdaya
7)
Masih kurangnya kapasitas SDM dan Kelembagaan
8)
Kurangnya
keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan Hutan/ Sumberdaya Alam
9)
Masih kurangnya fungsi ekonomi dari hutan mangrove
10) Kurangnya Data dan Informasi hutan mangrove
Dasar HukumTata Kelola dan Pengelolaan Hutan
Mangrove
Dasar Kewenangan Pengelolaan Hutan Mangrove
|
Dasar Kewenangan Pemanfaatan Hutan Mangrove
|
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 3
|
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 26,
27, 28
|
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 10, 21
|
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38
|
UU No 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau pulau kecil
Pasal 2, 5, 7
|
UU No 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau pulau kecil
Pasal 1(18),
16, 17, 18
|
Tantangan Tata Kelola dan Pengelolaan Hutan Mangrove
Penerapan
Kewenangan dan Dampaknya
Berdasarkan dasar hukum tata
kelola dan pengelolaan hutan di Indonesia, maka pemerintah pusat dan pemerintah
daerah diharapkan sinergis dalam penerapan kewenangan masing-masing. Dasar pengelolaan hutan mangrove lingkup
Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan berdasarkan hutannya, sedangkan
lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan ekosistem mangrove
sebagai pesisir.
Penerapan kebijakan pengelolaan
dan pemanfaatan terhadap hutan/ekosistem mangrove cendrung terjadi tumpang
tindih kewenangan, sehingga berpotensi tarik menarik dalam kewenangan penegakan
hukum pelanggaran terhadap hutan mangrove. Sementara upaya kewenangan konservasi
hutan mangrove harus sejalan dengan kewenangan penegakan hukum.
Tantangan tata kelola dan pengelolaan
konservasi hutan mangrove adalah peningkatan fungsi koordinasi, koordinasi dan
kolaborasi multipihak. Peningkatan
fungsi multipihak tersebut diharapkan dapat: 1). Mengenali dan mensintesa
permasalahan dengan baik, 2). Melakukan sinkronisasi antar berbagai
kepentingan, 3). Mendorong sinergis antara komponen yang terlibat, dan 4).
Mengambil peran sesuai kewenangan.
Dalam upaya
peningkatan fungsi multipihak sangat diperlukan turunan dari Undang - Undang
berupa Peraturan Pemerintah sebagai
pengaturan pelaksanaan untuk menjembatani kewenangan pada masing-masing Kementerian,
Sementara ditingkat Pemerintah Daerah sangat diperlukan Perlu Peraturan Daerah.
Strategi dan arah kebijakan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018 – 2023 Provinsi Sulawesi Selatan Terkait
dengan upaya Konservasi Hutan Mangrove.
Salah satu
misi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 terkait dengan konservasi
hutan mangrove adalah meningkatkan produktivitas dan daya
saing produk sumberdaya alam yang berkelanjutan. Tujuan dari misi tersebut adalah mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya
alam secara berdaya saing tanpa mengabaikan kelestarian, daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
Misi
tersebut diharapkan mewujudkan; 1). Meningkatnya produktivitas dan daya saing
produk sektor perekonomian berbasis sumberdaya alam dan 2). Terpeliharanya daya
dukung dan daya tampung lingkung hidup dalam menjamin keberlanjutan pembangunan
serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Merujuk pada Undang – Undang No 5 Tahun 1990
dan Undang – Undang No 41 Tahun 1999, maka perlu upaya kegiatan Konservasi
Hutan Mangrove (Perlindungan, Penyelamatan, Pengaweten) diarahkan pada prinsip
pembangunan berkelanjutan, berbasis
masyarakat dan Kolaboratif. Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat
dimensi, yaitu: 1) Dimensi Ekologis, 2) Dimensi Ekonomi, 3) Dimensi Sosial
Budaya dan 4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan.
Pengelolaan Hutan
Mangrove berbasis Partisipasi Masyarakat
Salah satu
Kabupaten di Sulawesi Selatan, yang mempunyai sejarah keberhasilan upaya
pengelolaan konservasi hutan mangrove adalah Kabupaten Sinjai. Hutan mangrove di Kabupaten Sinjai berkembang dari
partisipasi masyarakat. Masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai melakukan
pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove dari tahun 1980 sampai
sekarang. Data Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sinjai tahun 2016, Luas hutan mangrove di Kabupaten Sinjai
mencapai 1.157 Ha.
Keberhasilan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten
Sinjai membawa berbagai pihak (Instansi/lembaga pemerintah dan swasta,
akademisi, dll), baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri berkunjung ke
Sinjai. Tujuan kunjungan berbagai pihak
tersebut untuk melihat dan menggali informasi tentang partisipasi masyarakat
dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove.
Partisipasi masyarakat dalam
pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai terjadi karena
kemampuannya mengidentifikasi masalah dan mengambil keputusan untuk menangani
masalah yang ada disekitarnya. Saat
rumah dan tambak mereka rusak akibat abrasi, terjangan ombak besar dan
angin kencang, mereka mengambil keputusan untuk menanam bakau (mangrove) di
pesisir pantai untuk tujuan perlindungan.
Isbandi (2007) mengemukakan
bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses
pengidentifikasian masalah dan potensi
yang ada di masyarakat,
pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif
solusi untuk menangani
masalah.
Cohen dan Uphoff dalam Siti Irine Astuti D. (2009) membedakan partisipasi masyarakat menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Kedua,
partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi
dalam pengambilan kemanfaatan. Dan
keempat, partisipasi dalam evaluasi.
Keempat jenis partisipasi
tersebut bila dilakukan bersama-sama
akan memunculkan aktivitas pembangunan yang terintegrasi secara potensial.
Jenis partisipasi masyarakat
dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai sebagai
berikut :
Partisipasi Masyarakat dalam
Pengambilan Keputusan
Partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan untuk mengembangkan dan mengelola hutan mangrove di Kabupaten Sinjai dilakukan melalui
organisasi kelompok. Kelompok yang
pertama di bentuk masyarakat pesisir
Kabupaten Sinjai yaitu Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam Aku Cinta
Indonesia (KPSA – ACI).
Menurut Goldsmith dan Blustain dalam
Ndraha (1990), bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika partisipasi itu dilakukan
melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah- tengah masyarakat,
partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang
bersangkutan, manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat
memenuhi kepentingan masyarakat setempat serta dalam proses
partisipasi itu terjamin adanya kontrol
yang dilakukan oleh masyarakat.
Pengambilan keputusan dilakukan
melalui pertemuan kelompok. Dalam pertemuan
kelompok pengurus dan anggota kelompok menyepakati jenis, volume, lokasi,
waktu, dan penanggungjawab kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang
disepakati yakni wilayah penanaman dan
pemeliharaan mangrove dibagi per blok untuk masing-masing anggota, Jarak tanam
bakau yang rapat, pengaturan jalur jalan dan penambatan perahu, penanaman
dilakukan pada musim yang tepat, penerapan teknik silvikultur yang mereka temukan
sendiri dari pengalaman.
Partisipasi Masyarakat dalam
Pelaksanaan
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove dilihat saat kegiatan penanaman. Penanam mangrove
dilakukan pada blok penanaman masing-masing. Volume penanaman tergantung dari
kemampuan masing-masing anggota dan keluarganya. Waktu Penanaman dilakukan pada
saat air laut surut dan diutamakan pada tanah yang berlumpur.
Partisipasi masyarakat
juga terlihat saat pengambilan benih mangrove dan pembuatan ajir bambu. Pada kegiatan ini perempuan dan anak-anak mengambil
peran dalam pekerjaannya. Menurut
Gaventa dan Valderma dalam Siti Irene Astuti D. (2009) bahwa partisipasi
masyarakat memiliki ciri-ciri bersifat proaktif dan bahkan reaktif (artinya
masyarakat ikut menalar baru bertindak), ada kesepakatan yang
dilakukan oleh semua
yang terlibat, ada
tindakan yang mengisi kesepakatan
tersebut, ada pembagian kewenangan
dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.
Partisipasi
masyarakat dalam penanam yang cukup besar dan memakan waktu yang lama terlihat
saat mangrove yang telah mereka tanam tidak tumbuh. Mereka dengan sabar kembali
menanam mangrove. Kegagalan pertumbuhan
mangrove disebabkan karena terjangan ombak besar. Untuk menangani masalah tersebut masyarakat
pesisir bergotong royong membangun tanggul penahan dan pagar pemecah ombak.
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang diprogramkan pemerintah,
masyarakat pesisir juga ikut berpartisipasi.
Program pemerintah yang melibatkan masyarakat pesisir diantaranya:
Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN), pengembangan percontohan
pemberdayaan masyarakat pesisir, dan kegiatan pembangunan kebun bibit rakyat
(KBR).
Menurut Katz dalam Ndraha (1990) bahwa dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dibutuhkan peranan
dari pemerintah itu sendiri. Pemerintah
memiliki peranan dasar yang perlu dirinci dan dilaksanakan. Perincian
dan pelaksanaan dasar inilah yang
disebut sebagai peranan administrative
(administrative roles).
Partisipasi Masyarakat dalam
Evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam
pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai pada tahap evaluasi meliputi pemeliharaan, pengawasan dan
pertemuan evaluasi hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Kegiatan partisipasi masyarakat
yang diliihat dalam tahap evaluasi meliputi pemeliharaan, dan pertemuan
evaluasi hasil kegiatan
yang telah dilakukan. Kegiatan pemeliharaan yang
dilakukan adalah penyulaman, pengendalian hama dan penyakit. Pertemuan evaluasi
dilakukan untuk menyampaikan hasil – hasil pelaksanaan dan masalah yang
dihadapi. Pada pertemuan evaluasi disepakati tindak lanjut pemecahan masalah.
Keaktifan masyarakat pada tahap
evaluasi ini sangat perlu untuk diberdayakan, karena dengan mengetahui
permasalahan yang timbul dari kegiatan yang dilakukan akan dapat merencanakan
kegiatan berikut yang lebih baik dan dapat mengatasinya. Partisipasi masyarakat
tahap evaluasi ini akan menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki lebih
tinggi terhadap keberhasilan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove.
Partisipasi Masyarakat dalam
Pengambilan Kemanfaatan
Keberhasilan partisipasi
masyarakat pada tahap ini dapat
dilihat dari seberapa besar
manfaat yang diterima masyarakat setelah dilakukannya kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan
mangrove.
Sobari, dkk. (2006) mengemukakan bahwa apabila pendapatan perkapita dipakai sebagai ukuran tingkat kesejahteraan,
maka tingkat kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan hutan
mangrove dapat dilihat melalui manfaat
apa sajakah yang
diberikan untuk masyarakat
setelah adanya program
rehabilitasi. Dalam konteks ini ada beberapa manfaat yaitu :
a.
Manfaat langsung, yaitu manfaat yang
langsung
diambil dari sumber daya. Manfaat
langsung tersebut
berupa manfaat usaha
tambak, manfaat
dari hasil kayu, manfaat penangkapan hasil perikanan.
b.
Manfaat tidak langsung, yaitu nilai yang
secara
tidak
langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dapat berupa fisik yang mendukung nilai guna
langsung
misalnya
hutan mangrove sebagai
penahan
abrasi pantai.
Selain manfaat tidak
langsung berupa fisik, hutan
mangrove
juga
memiliki manfaat
biologi
sebagai nursery ground yaitu tempat berkembang biaknya
ikan
yang tentunya akan menambah produktivitas hasil tangkapan
nelayan.
Manfaat yang dirasakan masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai dengan adanya
hutan mangrove antara lain : Pemukiman telah
bebas dari terjangan ombak dan angin kencang, tambak tidak mengalami
kerusakan, tersedianya nener, benur alam dan
kepiting yang dapat dengan mudah ditangkap, pengelolaan
sumber benih kurangnya rembesan air laut ke sumur
masyarakat, memberikan
kesejukan dan keindahan pantai.
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di
Kabupaten Sinjai juga meningkat dengan adanya :
- Tokoh penggerak keswadayaan masyarakat.
Tokoh yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki motivasi tinggi dan
memahami pentingnya hutan mangrove serta berdomisili diwilayah pesisir.
- Dukungan pembangunan infrastruktur dari pihak pemerintah untuk memudahkan
aksesibilitas masyarakat.
- Pendampingan pemberdayaan secara terus menerus. Dengan pendampingan
masyarakat pesisir merasa tidak sendiri dalam membangun hutan mangrove.
- Penghargaan atas prestasi yang mereka telah capai.
- Keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan/program pemerintah
yang dilaksanakan wilayah pesisir.
-