Selasa, 08 Agustus 2023

KONSEP PROSEDUR KERJA PENYULUHAN KEHUTANAN PROVINSI SULAWESI SELATAN


NASKAH MATERI PENYULUHAN KEHUTANAN YANG DIMUAT DALAM MEDIA ELEKTRONIK BLOG

KONSEP PROSEDUR KERJA PENYULUH KEHUTANAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN






DATA LUAS EKSISTING DAN LUAS POTENSI
PENGEMBANGAN MANGROVE DI SULAWESI SELATAN
 








Jumat, 09 September 2022

PERENCANAAN PERHUTANAN SOSIAL
RENCANA KELOLA PERHUTANAN SOSIAL (RKPS) 
DAN RENCANA KERJA TAHUNAN (RKT)











Jumat, 23 Agustus 2019

TANTANGAN TATA KELOLA DAN PENGELOLAAN
KONSERVASI HUTAN MANGROVE
Oleh
N a w i r*

Peran dan fungsi ekosistem mangrove baik fungsi ekologi seperti pusat plasma nutfah, proteksi pesisir pantai maupun fungsi ekonomi seperti ekowisata dan pemijahan ikan, udang, kepiting perlu konsep manajemen pengelolaan yang lestari.
Terbitnya beberapa peraturan perundang – undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove terkesan tumpah tindih dan berpotensi tarik menarik dalam penerapan kewenagan. Kondisi tersebut memperlambat upaya konservasi hutan mangrove yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya alam.
Luas ekosistem hutan mangrove Sulawesi Selatan mencapai 77.135 Ha terdiri dari kondisi baik 24.615 Ha, kondisi rusak 25.844 Ha, kondisi rusak berat 26.676 Ha. Kondisi rusak dan rusak berat terjadi karena banyak konversi lahan (alih fungsi) dan konflik pemanfaatan sumberdaya.
Tantangan tata kelola dan pengelolaan konservasi hutan mangrove adalah peningkatan fungsi koordinasi, koordinasi dan kolaborasi multipihak.  Peningkatan fungsi multipihak tersebut diharapkan dapat: 1). Mengenali dan mensintesa permasalahan dengan baik, 2). Melakukan sinkronisasi antar berbagai kepentingan, 3). Mendorong sinergis antara komponen yang terlibat, dan 4). Mengambil peran sesuai kewenangan.
Konservasi hutan mangrove perlu diarahkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan, berbasis masyarakat dan kolaborasi multipihak. Salah satu misi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 yang mendukung konservasi hutan mangrove yaitu meningkatkan produktifitas dan daya saing produk sumber daya alam yang berkelanjutan. Penjabaran misi tersebut menitik beratkan pada terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Strategi dan arah kebijakan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 yang berhubungan dengan peningkatan fungsi hutan mangrove yaitu hilirisasi pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan.  Hal ini dapat menyatupadukan multipihak dalam mengambil peran dalam upaya konservasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan.
          Berdasarkan pengalaman pendampingan pengelolaan dan rehabilitasi mangrove yang telah dilaksanakan, terdapat faktor – faktor yang berpengaruh dalam konservasi hutan mangrove adalah Kesadaran masyarakat pesisir akan fungsi ekologis, tumbuh dan berkembangnya nilai ekonomi, partisipasi masyarakat, tokoh penggerak masyarakat, infrastruktur, pendampingan dan pemberdayaan, penghargaan atas partisipasi masyarakat dan pelibatan masyarakat dalam program pemerintah.
          Faktor teknis yang dapat menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove diantaranya kesepakatan blok penanaman, Jarak tanam mangrove yang ditanam rapat,  pengaturan jalur jalan dan penambatan perahu, penanaman dilakukan pada musim yang tepat, penerapan teknik silvikultur yang ditemukan masyarakat, pemeliharaan tanaman secara terus menerus.
Kata Kunci : Tata Kelola, Pengelolaan, Konservasi Mangrove

*Penyuluh Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan


TANTANGAN TATA KELOLA DAN PENGELOLAAN 
KONSERVASI HUTAN MANGROVE DI SULAWESI SELATAN

N a w i r*
*Penyuluh Kehutanan Madya
Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan
 



Pendahuluan
Peran dan fungsi ekosistem mangrove baik fungsi ekologi seperti pusat plasma nutfah, proteksi pesisir pantai maupun fungsi ekonomi seperti ekowisata dan pemijahan ikan, udang, kepiting perlu konsep manajemen pengelolaan yang lestari.
Luas ekosistem hutan mangrove Sulawesi Selatan mencapai 77.135 Ha terdiri dari kondisi baik 24.615 Ha, kondisi rusak 25.844 Ha, kondisi rusak berat 26.676 Ha. Kondisi rusak dan rusak berat terjadi karena banyak konversi lahan (alih fungsi) dan konflik pemanfaatan sumberdaya.
Terbitnya beberapa peraturan perundang – undangan yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove terkesan tumpah tindih dan berpotensi tarik menarik dalam penerapan kewenangan. Kondisi tersebut memperlambat upaya konservasi hutan mangrove yang berdampak pada menurunnya fungsi sumberdaya alam.
Berbagai tantangan tata kelola dan pengelolaan hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan perlu dipahami oleh berbagai pihak dalam mengambil peran dan tanggungjawab dalam konservasi hutan mangrove.

Permasalahan Konservasi Hutan Mangrove
Secara umum permasalahan upaya konservasi hutan mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :.
1)        Acaman Alih fungsi Lahan (Konversi)
2)        Ancaman kerusakan ekosistem pesisir
3)        Ancaman potensi pencemaran
4)        Penambangan  pasir laut
5)        Reklamasi pesisir dan pulau pulau kecil
6)        Konflik pemanfaatan sumberdaya
7)        Masih kurangnya kapasitas SDM dan Kelembagaan
8)        Kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan Hutan/ Sumberdaya Alam
9)        Masih kurangnya fungsi ekonomi dari hutan mangrove
10)     Kurangnya Data dan Informasi hutan mangrove

Dasar HukumTata Kelola dan Pengelolaan Hutan Mangrove
Dasar Kewenangan Pengelolaan Hutan Mangrove
Dasar Kewenangan Pemanfaatan Hutan Mangrove
UU No 5 Tahun 1990 tentang  Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 3
UU No 5 Tahun 1990 tentang  Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 26, 27, 28
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 10, 21
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38
UU No 27 Tahun 2007 
tentang Pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau pulau kecil
Pasal 2, 5, 7
UU No 27 Tahun 2007 
tentang Pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau pulau kecil
Pasal 1(18), 16, 17, 18

Tantangan Tata Kelola dan Pengelolaan Hutan Mangrove
Penerapan Kewenangan dan Dampaknya
Berdasarkan dasar hukum tata kelola dan pengelolaan hutan di Indonesia, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah diharapkan sinergis dalam penerapan kewenangan masing-masing.  Dasar pengelolaan hutan mangrove lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan berdasarkan hutannya, sedangkan lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan ekosistem mangrove sebagai pesisir.
Penerapan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan terhadap hutan/ekosistem mangrove cendrung terjadi tumpang tindih kewenangan, sehingga berpotensi tarik menarik dalam kewenangan penegakan hukum pelanggaran terhadap hutan mangrove. Sementara upaya kewenangan konservasi hutan mangrove harus sejalan dengan kewenangan penegakan hukum.
Tantangan tata kelola dan pengelolaan konservasi hutan mangrove adalah peningkatan fungsi koordinasi, koordinasi dan kolaborasi multipihak.  Peningkatan fungsi multipihak tersebut diharapkan dapat: 1). Mengenali dan mensintesa permasalahan dengan baik, 2). Melakukan sinkronisasi antar berbagai kepentingan, 3). Mendorong sinergis antara komponen yang terlibat, dan 4). Mengambil peran sesuai kewenangan.
Dalam upaya peningkatan fungsi multipihak sangat diperlukan turunan dari Undang - Undang berupa Peraturan Pemerintah sebagai pengaturan pelaksanaan untuk menjembatani kewenangan pada masing-masing Kementerian, Sementara ditingkat Pemerintah Daerah sangat diperlukan Perlu Peraturan Daerah.

Strategi dan arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018 – 2023 Provinsi Sulawesi Selatan Terkait dengan upaya Konservasi Hutan Mangrove.

Salah satu misi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 2018 – 2023 terkait dengan konservasi hutan mangrove adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing produk sumberdaya alam yang berkelanjutan. Tujuan dari misi tersebut adalah mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berdaya saing tanpa mengabaikan kelestarian, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Misi tersebut diharapkan mewujudkan; 1). Meningkatnya produktivitas dan daya saing produk sektor perekonomian berbasis sumberdaya alam dan 2). Terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkung hidup dalam menjamin keberlanjutan pembangunan serta meningkatkan kemampuan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
 Merujuk pada Undang – Undang No 5 Tahun 1990 dan Undang – Undang No 41 Tahun 1999, maka perlu upaya kegiatan Konservasi Hutan Mangrove (Perlindungan, Penyelamatan, Pengaweten) diarahkan pada prinsip pembangunan  berkelanjutan, berbasis masyarakat dan Kolaboratif. Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: 1) Dimensi Ekologis, 2) Dimensi Ekonomi, 3) Dimensi Sosial Budaya dan 4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan.


Pengelolaan Hutan Mangrove berbasis Partisipasi Masyarakat

Salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan, yang mempunyai sejarah keberhasilan upaya pengelolaan konservasi hutan mangrove adalah Kabupaten Sinjai. Hutan mangrove di Kabupaten Sinjai berkembang dari partisipasi masyarakat. Masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai melakukan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove dari tahun 1980 sampai sekarang.  Data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai tahun 2016, Luas hutan mangrove di Kabupaten Sinjai mencapai 1.157 Ha.



Keberhasilan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai membawa berbagai pihak (Instansi/lembaga pemerintah dan swasta, akademisi, dll), baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri berkunjung ke Sinjai.  Tujuan kunjungan berbagai pihak tersebut untuk melihat dan menggali informasi tentang partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove.
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai terjadi karena kemampuannya mengidentifikasi masalah dan mengambil keputusan untuk menangani masalah yang ada disekitarnya. Saat  rumah dan tambak mereka rusak akibat abrasi, terjangan ombak besar dan angin kencang, mereka mengambil keputusan untuk menanam bakau (mangrove) di pesisir pantai untuk tujuan perlindungan.
Isbandi (2007) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi  yang ada di masyarakat,  pemilihan  dan pengambilan  keputusan tentang  alternatif  solusi  untuk  menangani  masalah.
Cohen dan Uphoff dalam Siti Irine Astuti D. (2009) membedakan partisipasi masyarakat menjadi empat jenis, yaitu: Pertama, partisipasi dalam  pengambilan  keputusan.  Kedua,  partisipasi  dalam  pelaksanaan. Ketiga,   partisipasi   dalam   pengambilan   kemanfaatan.   Dan   keempat, partisipasi   dalam   evaluasi.   Keempat   jenis   partisipasi   tersebut   bila dilakukan bersama-sama akan memunculkan aktivitas pembangunan yang terintegrasi secara potensial.
Jenis partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai sebagai berikut :
Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Keputusan
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk mengembangkan dan mengelola  hutan mangrove di Kabupaten Sinjai dilakukan melalui organisasi kelompok.  Kelompok yang pertama di bentuk masyarakat pesisir  Kabupaten Sinjai yaitu Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam Aku Cinta Indonesia (KPSA – ACI).
Menurut Goldsmith dan Blustain dalam Ndraha (1990), bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah- tengah masyarakat, partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan, manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi  kepentingan  masyarakat setempat serta dalam proses partisipasi itu terjamin  adanya  kontrol  yang  dilakukan oleh masyarakat.
Pengambilan keputusan dilakukan melalui pertemuan kelompok.  Dalam pertemuan kelompok pengurus dan anggota kelompok menyepakati jenis, volume, lokasi, waktu, dan penanggungjawab kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan.  Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang disepakati  yakni  wilayah penanaman dan pemeliharaan mangrove dibagi per blok untuk masing-masing anggota, Jarak tanam bakau yang rapat, pengaturan jalur jalan dan penambatan perahu, penanaman dilakukan pada musim yang tepat, penerapan teknik silvikultur yang mereka temukan sendiri dari pengalaman.

Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove dilihat saat  kegiatan penanaman. Penanam mangrove dilakukan pada blok penanaman masing-masing. Volume penanaman tergantung dari kemampuan masing-masing anggota dan keluarganya. Waktu Penanaman dilakukan pada saat air laut surut dan diutamakan pada tanah yang berlumpur.
Partisipasi masyarakat juga terlihat saat pengambilan benih mangrove dan pembuatan ajir bambu.  Pada kegiatan ini perempuan dan anak-anak mengambil peran dalam pekerjaannya.  Menurut Gaventa dan Valderma dalam Siti Irene Astuti D. (2009) bahwa partisipasi masyarakat memiliki ciri-ciri bersifat proaktif dan bahkan reaktif (artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak), ada kesepakatan  yang  dilakukan  oleh  semua  yang  terlibat,  ada  tindakan yang mengisi kesepakatan  tersebut,  ada pembagian  kewenangan  dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.
Partisipasi masyarakat dalam penanam yang cukup besar dan memakan waktu yang lama terlihat saat mangrove yang telah mereka tanam tidak tumbuh. Mereka dengan sabar kembali menanam mangrove.  Kegagalan pertumbuhan mangrove disebabkan karena terjangan ombak besar.  Untuk menangani masalah tersebut masyarakat pesisir bergotong royong membangun tanggul penahan dan pagar pemecah ombak.
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang diprogramkan pemerintah, masyarakat pesisir juga ikut berpartisipasi.  Program pemerintah yang melibatkan masyarakat pesisir diantaranya: Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN), pengembangan percontohan pemberdayaan masyarakat pesisir, dan kegiatan pembangunan kebun bibit rakyat (KBR).
Menurut Katz dalam Ndraha (1990) bahwa dalam meningkatkan  partisipasi masyarakat dibutuhkan peranan dari pemerintah itu sendiri.  Pemerintah memiliki peranan dasar yang perlu dirinci dan dilaksanakan.  Perincian  dan  pelaksanaan dasar inilah yang disebut sebagai peranan administrative  (administrative roles).

Partisipasi Masyarakat dalam Evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai pada tahap evaluasi meliputi pemeliharaan, pengawasan dan pertemuan evaluasi hasil kegiatan yang telah dilakukan.
Kegiatan partisipasi masyarakat yang diliihat dalam  tahap evaluasi     meliputi pemeliharaan, dan pertemuan evaluasi  hasil  kegiatan  yang  telah  dilakukan. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah penyulaman, pengendalian hama dan penyakit. Pertemuan evaluasi dilakukan untuk menyampaikan hasil – hasil pelaksanaan dan masalah yang dihadapi. Pada pertemuan evaluasi disepakati tindak lanjut pemecahan masalah.
Keaktifan masyarakat pada tahap evaluasi ini sangat perlu untuk diberdayakan, karena dengan mengetahui permasalahan yang timbul dari kegiatan yang dilakukan akan dapat merencanakan kegiatan berikut yang lebih baik dan dapat mengatasinya. Partisipasi masyarakat tahap evaluasi ini akan menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki lebih tinggi terhadap keberhasilan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove.


Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Kemanfaatan
Keberhasilan partisipasi masyarakat pada  tahap ini  dapat  dilihat  dari seberapa besar manfaat yang diterima masyarakat setelah dilakukannya kegiatan pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove.
Sobari, dkk. (2006) mengemukakan bahwa apabila pendapatan perkapita dipakai  sebagai  ukuran  tingkat kesejahteraan, maka tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove dapat dilihat melalui manfaat apa sajakah yang diberikan untuk masyarakat setelah adanya program rehabilitasi. Dalam konteks ini ada beberapa manfaat yaitu :
a.     Manfaat langsung, yaitu manfaat yang langsung  diambil dari sumber daya. Manfaat langsung  tersebut  berupa manfaat usaha tambak, manfaat dari hasil kayu, manfaat penangkapan hasil perikanan.
b.     Manfaat tidak langsung,  yaitu   nilai yang  secara  tidak  langsung  dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dapat berupa fisik yang mendukung nilai guna  langsung misalnya  hutan mangrove  sebagai  penahan  abrasi pantai.  Selain  manfaat  tidak  langsung berupa fisik, hutan mangrove juga memiliki manfaat  biologi   sebagai nursery ground yaitu tempat berkembang  biaknya  ikan  yang tentunya akan menambah produktivitas hasil tangkapan nelayan.
Manfaat yang dirasakan masyarakat pesisir Kabupaten Sinjai dengan adanya hutan mangrove antara lain : Pemukiman telah bebas dari terjangan ombak dan angin kencang, tambak tidak mengalami kerusakan, tersedianya nener, benur alam dan kepiting yang dapat dengan mudah ditangkap, pengelolaan sumber benih kurangnya rembesan air laut ke sumur masyarakat, memberikan kesejukan dan keindahan pantai.
Partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai juga meningkat dengan adanya :
-     Tokoh penggerak keswadayaan masyarakat.  Tokoh yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki motivasi tinggi dan memahami pentingnya hutan mangrove serta berdomisili diwilayah pesisir.
-     Dukungan pembangunan infrastruktur dari pihak pemerintah untuk memudahkan aksesibilitas masyarakat. 
-     Pendampingan pemberdayaan secara terus menerus. Dengan pendampingan masyarakat pesisir merasa tidak sendiri dalam membangun hutan mangrove.
-     Penghargaan atas prestasi yang mereka telah capai.
-     Keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan/program pemerintah yang dilaksanakan wilayah pesisir.



-